Komparasi Mekanisme Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi Negara Thailand dan Amerika Serikat dengan RUU Perampasan Aset Nasional

Dalam upaya penegakan hukum, terutama dalam kasus tindak pidana, terdapat mekanisme perampasan aset. Perampasan aset merujuk kepada hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, di mana asetnya dirampas oleh negara tanpa kompensasi sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan. Di Indonesia sendiri, telah disiapkan Draf Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang segera dibahas oleh Komisi III DPR.

 

Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset

 

RUU Perampasan Aset merupakan senjata ampuh untuk memberantas korupsi dan tindak pidana lainnya di Indonesia. Menurut pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Ganarsih, RUU ini ampuh untuk memberantas korupsi dan tindak pidana lainnya karena para pelaku tindak pidana lebih takut dimiskinkan dibanding diberikan pidana penjara dengan berkaca kepada kondisi Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin.Terdapat beberapa alasan mengapa RUU  ini sangat urgen untuk disahkan. 

 

Pertama, menurut data dari Transparency pada tahun 2022, nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia merosot dari 38 poin pada tahun 2021 menjadi 34 poin pada tahun 2022. Penurunan IPK ini menyebabkan peringkat Indonesia turun dari posisi 96 pada tahun 2021 menjadi posisi 110 pada tahun 2022 dari 180 negara yang bersih dari korupsi. Penurunan Angka tersebut juga menjadi penurunan tertinggi Indonesia sejak tahun 1995. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia masih sangat tinggi. 

 

Kedua, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dalam UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC, tetapi belum mengadopsi mekanisme penelusuran, pemblokiran, dan perampasan aset berdasarkan Bab V konvensi tersebut. Dalam Pasal 32, 33, 34 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah diatur mekanisme perampasan aset dengan gugatan perdata oleh Jaksa sebagai pengacara negara. Namun, proses ini dapat berjalan dengan sangat lama yang dapat disebabkan oleh upaya hukum banding, kasasi, serta peninjauan kembali. Selain itu, berdasarkan pasal 18 huruf a UU Tipikor, pengembalian aset hanya dapat dilakukan jika tersangka telah terbukti melakukan tindak pidana dalam UU Tipikor sehingga merupakan bagian dari pidana tambahan.

 

Ketiga, perampasan aset bersinggungan erat dengan Pasal 28H Ayat 4 UUD 1945 dan 28G Ayat 1 UUD 1945 yang menyinggung mengenai hak setiap orang untuk memiliki kebendaan sehingga rentan terjadi pelanggaran terhadap HAM dalam pelaksanaannya.

 

Mekanisme Perampasan Aset yang Menjunjung Tinggi Hak Asasi Manusia

 

Dalam RUU Perampasan Aset, mekanisme perampasan aset dapat dilakukan tanpa harus dijatuhkan pidana terlebih dahulu. Prinsip ini dikenal dengan Non Conviction Based Asset Forfeiture (NCB). NCB merupakan salah satu bentuk perampasan aset yang dilakukan dengan gugatan perdata. Mekanisme ini menempatkan gugatan terhadap aset, bukan pelaku tindak pidana sehingga aset dapat dirampas meskipun proses peradilan sedang berlangsung. NCB dapat menarik kembali aset yang diduga kuat berkaitan dengan tindak pidana seperti korupsi, pembalakan liar, dan sebagainya. Menurut Theodore S. Greenberg, NCB didasari oleh taint doctrine, di mana suatu aset atau properti telah tercemar oleh tindak pidana sehingga layak untuk dirampas dan dijadikan milik negara. Dalam RUU Perampasan Aset, perampasan aset terdiri dari tiga tahap, yaitu penelusuran, pemblokiran dan penyitaan, serta pengajuan permohonan perampasan aset kepada pengadilan negeri setempat.

 

Perbandingan Mekanisme Perampasan Aset Negara Thailand dan Amerika Serikat

 

Secara historis, negara Amerika Serikat mengadopsi NCB dengan tiga model, yakni deodand, forfeiture of estate, dan commercial forfeiture. Barulah sejak tahun 1984, ketiga model tersebut disebut dengan istilah NCB sejak diberlakukannya Crime Control Act dan Civil Asset Forfeiture Reform Act (CAFRA) 2000. Sejak tahun 2002 s.d. 2018, Pemerintah Federal Amerika Serikat memperoleh pemasukan sebesar USD 21.000.000.000,00 dari NCB. NCB juga dikenal sebagai Civil Forfeiture di Amerika Serikat. Civil Forfeiture berperan ketika negara menemukan harta kekayaan dari penjahat atau terdakwa yang telah meninggal untuk dilakukan perampasan atau harta kekayaan yang terbukti berkaitan dengan kejahatan, tetapi tidak dapat dibuktikan siapa pelakunya.

 

Di negara Thailand, NCB telah diatur melalui Anti Money Laundering Act B.E. 2542 – AMLA tahun 2019 sebagaimana telah diubah oleh Anti Money Laundering Act (No. 4) B.E. 2556 (2013) yang terdiri dari 66 Pasal dan 8 Bab. NCB dilaksanakan oleh Anti Money Laundering Office (AMLO) yang bertanggungjawab dalam penyelidikan TPPU dan berwenang untuk melakukan perampasan aset secara NCB. Lembaga ini memiliki kewenangan luas untuk mengidentifikasi, melacak, mencari, menahan, menyita, sampai dengan mengelola aset yang dirampas. Selain itu, lembaga ini menggunakan sistem dan teknologi yang canggih dan terperinci. Tim manajemen aset AMLO memanfaatkan teknologi informasi untuk efektif mengelola dan memantau aset di bawah kendali mereka. Mereka telah mengembangkan perangkat lunak AMCATS yang mencatat dan melacak semua data terkait dengan penyitaan setiap aset. Dengan ini, AMLO dapat mengelola aset, menghasilkan laporan, menganalisis statistik, dan memantau inventaris dengan baik.

 

Referensi

Ayuningsih, Irma Reisalinda. “Pengelolaan Aset Yang Dirampas Melalui Mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture: Suatu Perbandingan Indonesia – Thailand.” https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/16101/Pengelolaan-Aset-yang-Dirampas-melalui-Mekanisme-Non-Conviction-Based-Asset-Forfeiture-Suatu-Perbandingan-Indonesia-Thailand.html. Diakses 14 Juli 2023.

Bariah, Chairul, Teuku Isra Muntahar, Madiasa Ablisar. “Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.” Jurnal Studia: Jurnal Kajian Hukum, Vol. 2, No. 1 (Februari 2021). Hlm. 49—63

Borsa, Ozkan Merve, et al. “Asset Forfeiture of Corruption Proceeds Using The Non-Conviction Based Asset Forfeiture Method: A Review of Human Rights.” Indonesian Law Reform Journal, Vol. 3, No. 1 (2023). Hlm. 15—25.

Heylaw Edu. “Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.” https://heylaw.id/blog/urgensi-pengesahan-ruu-perampasan-aset-tindak-pidana. Diakses 14 Juli 2023.

Indonesia. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.

Indonesia. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN No. 140 Tahun 1999, TLN No. 3874.

Indonesia. Undang-Undang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, UU No. 7 Tahun 2006, LN No. 32 Tahun 2006, TLN No. 4620.

Rahmawati, Dwi. “Puan Beri Alasan DPR Belum Bacakan RUU Perampasan Aset Di Paripurna.” https://news.detik.com/berita/d-6817406/puan-beri-alasan-dpr-belum-bacakan-ruu-perampasan-aset-di-paripurna. Diakses 14 Juli 2023

Wijaya, Denny. “Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) Untuk Mengembalikan Kerugian Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi.” Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2020. ()