Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia

Oleh : Rizky Novian Hartono

(Internship Advokat Konstitusi)

Indonesia kembali dikejutkan dengan adanya peristiwa ledakan yang diduga sebagai bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Peristiwa ledakan di rumah ibadah ini semakin menambah panjang daftar ledakan bom yang terjadi di Indonesia. Kapolda Sulawesi Selatan, Irjen Merdisyam, mengatakan sejauh ini korban akibat peristiwa ledakan sebanyak dua puluh orang, dan terdapat satu orang tewas yang diduga sebagai pelaku bom bunuh diri (Kompas, 2021).

Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana yang sangat tercela dan tidak berperikemanusiaan. Rangkaian peristiwa bom yang pernah terjadi di Indonesia telah menimbulkan rasa takut di kalangan masyarakat luas karena menyebabkan hilangnya nyawa, harta benda, mengusik rasa keamanan dan kenyamanan. Jangka pendeknya, timbul pengaruh yang tidak menguntungkan pada kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Jika dibiarkan berlarut- larut maka jangka panjang yang harus siap ditanggung Indonesia ialah disintegrasi bangsa dan terganggunya hubungan diplomatik Indonesia dengan negara- negara lain.

Terorisme termasuk tindak pidana transnasional karena mempunyai jaringan yang luas serta dapat mengancam perdamaian, baik di tingkat nasional maupun internasional. Jika melihat sejarah perkembangan penanganan terorisme di dunia, terdapat perluasan paradigma terhadap terorisme yang semula merupakan crime against state menjadi crime against humanity dalam European Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa pada tahun 1977. Terorisme sebagai crime against humanity tidak lepas dari tindakan teror yang ditujukan langsung kepada masyarakat sipil. Black Laws Dictionary mendefinisikan tindak pidana terorisme sebagai:“Kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, dan jelas dimaksudkan untuk mengintimidasi penduduk sipil; mempengaruhi kebijakan pemerintah; mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.”

Lalu, bagaimana hukum positif Indonesia menanggulangi tindak pidana terorisme? Indonesia memiliki strategi komprehensif dalam menanggulangi tindak pidana terorisme dan mengkombinasikannya dalam hard approach dan soft approach. Sebagaimana yang diketahui, hard approach dan soft approach merupakan dua bentuk pendekatan yang umum digunakan dalam melawan tindak pidana terorisme (counterterrorism). Merujuk pendapat Romaniuk dan Fink (2012:2), bahwa hard approach merupakan pendekatan penanggulangan terorisme dengan menggunakan kekerasan terhadap kelompok teroris yang seperti penggunaan militer dan intelijen untuk menegakkan hukum, sedangkan soft approach menurut Zakharchenko (2007:8) merupakan pendekatan penanggulangan terorisme dengan menggunakan kebijakan-kebijakan strategis tanpa kekerasan ataupun paksaan.

Dalam kaitannya dengan hard approach, Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan untuk mengatasi tindak pidana terorisme, antara lain Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penanggulangan Terorisme sebagaimana yang telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2018 dan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, serta Peraturan Bersama Ketua MA, Menlu, Kapolri, Kepala BNPT, dan Kepala PPATK tentang Peraturan Bersama tentang Pencantuman Identitas Orang dan Korporasi dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris dan Pemblokiran secara Serta Merta atas Dana Milik Orang atau Korporasi yang Tercantum dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris. Seluruh peraturan perundang-undangan tersebut mendorong seluruh aparat penegak hukum (Polri, Hakim, Jaksa) sekaligus TNI untuk menegakkan hukum secara transparan. Sedangkan soft approach di Indonesia ialah dengan melakukan program deradikalisasi dan kontra radikalisasi yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Sejatinya, Pasal 6 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2018 menentukan bahwa unsur- unsur terorisme mencakup: setiap orang; dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan; menimbulkan rasa teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas; menimbulkan korban massal, merampas kemerdekaan, atau hilangnya nyawa dan harta benda, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Indonesia sebagai negara multikultur yang tumbuh di era teknologi yang semakin canggih ini patut terus waspada terhadap perkembangan jaringan-jaringan teror di Indonesia.

Indonesia yang telah memiliki Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk menanggulangi potensi terjadinya tindak pidana terorisme yang memiliki berbagai program untuk menanggulangi terorisme di Indonesia. Program Pencegahan yang dilaksanakan oleh BNPT terdiri dari dua strategi. Pertama, strategi deradikalisasi yang ditunjukan terhadap kelompok inti dan militan terorisme dengan melaksanakan kegiatan penangkalan, rehabilitasi, reduksi, dan resosialisasi. Kedua, strategi kontra radikalisasi yang ditunjukkan terhadap kelompok pendukung, simpatisan, dan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan pencegahan yang meliputi kegiatan pengawasan terhadap orang, senjata api, dan kegiatan kontra propaganda, kegiatan kewaspadaan serta kegiatan perlindungan terhadap objek vital, transportasi, serta lingkungan dan fasilitas publik.

Meskipun begitu, tetap harus ada upaya bersama yang turut melibatkan masyarakat untuk dapat menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia agar TNI dan Polri sebagai unsur utama dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, dan rakyat sebagai unsur cadangannya dapat menciptakan sebuah negara yang aman, damai, dan sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penanggulangan Terorisme
  • Zakharchenko, A. I. (2007). The EU and U.S. Strategies Against Terrorism and Proliferation of WMD: A Comparative Study. The George C. Marshall European Center for Security. Hlm. 8.
  • Romaniuk, P., & Fink, N. C. (2012). From Input to Impact: Evaluating Terrorism Prevention Programs. New York: Center on Global Counterterrorism Cooperation. Hlm. 2.