Atas ketidaksesuaian norma yang ada mengenai justice collaborator, maka terjadi perubahan atas UU. No. 13 Tahun 2006 dengan UU. No. 31 Tahun 2014 khususnya pada Pasal 10 UU. No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas  UU. No. 13 Tahun 2006.

Meskipun norma justice collaborator telah diatur dalam UU. No. 31 Tahun 2014, namun masih tetap ditemukan kelemahan dalam pelaksanaannya. Kelemahannya yakni untuk mengajukan permohonan justice collaborator ke LPSK, sehingga mengacu pada tersebut di atas, pengaturannya masih belum jelas diatur. 

Oleh sebab itu, sepanjang norma tentang justice collaborator tidak melekat dalam revisi KUHAP, maka masih ditemukan kendala prosedural formal. KUHAP merupakan norma hukum pidana formil, yang meletakan dasar-dasar yang kokoh dalam criminal justice system. LPSK tidak ditempatkan dalam sistem tersebut, sehingga keberadaan institusi tersebut belum begitu dipertimbangkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. 

Sebagai contoh kasus, Tiga terdakwa kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik telah menjadi justice collaborator. Ketiga terdakwa tersebut yaitu mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto, mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman, serta pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong. Pemberian status justice collaborator tersebut karena ketiga orang terdakwa itu telah mengungkap peran aktor lain dalam perkara e-KTP. Mereka juga telah mengakui perbuatannya dan bukan merupakan pelaku utama.