Problematika Komersialisasi Non-Fungible Token (NFT) Terkait Perlindungan Kekayaan Intelektual

Oleh: Annisa Diana Pratiwi

(Internship Content Creator @advokatkonstitusi)

Non-Fungible Token (NFT) adalah simbol dari pasar masa depan yang lebih modern dan rumit. NFT menyediakan alat untuk monetisasi dan komersialisasi mata uang digital, serta memungkinkan pengusaha digital untuk mendigitalkan bisnis mereka melalui proses yang lebih efisien dan efektif. Popularitas NFT menyebabkan peningkatan profitabilitas yang signifikan. Selama tahun fiskal 2021, volume transaksi NFT meningkat sebesar 5% mencapai USD 2,5 miliar. Mekanisme jual beli NFT adalah dengan mengirimkan file ke salah satu situs lelang. File kemudian direkam, dan jaminan dalam identifikasi file ada di meta-data dalam fungsi hash kriptografi. Platform dalam NFT membantu memastikan legitimasi kepemilikan file atau objek aset digital ini. Data historis dari pengalihan kepemilikan objek ini akan terlihat jelas, tetapi apakah pemilik benar-benar memiliki aset atau file digital tersebut?

Saat seseorang membeli NFT, dia tidak mendapatkan kepemilikan penuh atas data digital asli, juga tidak memiliki akses eksklusif ke data tersebut. Tentu saja hal ini akan menimbulkan persoalan dengan teori kepemilikan. Alhasil, pemilik hanya memiliki data yang esensial saja. Keamanan juga menjadi masalah; menurut temuan studi dan penilaian Chohan, ada kesalahan dalam sistem, terutama saat membuat token NFT, yang mungkin memalsukan kepemilikan data. Ketidakakuratan ini juga terkait dengan kesalahan 404 karena mempengaruhi lokasi online data; jika lokasi objek kepemilikan berubah/berpindah, maka sistem ketersediaan informasi kepemilikan akan kacau balau. Tentunya integritas NFT sebagai sistem dan produk ini perlu mendapat perhatian lebih.

Eksistensi Non-Fungible Token (NFT) di Indonesia mulai berkembang sejak diperkenalkan oleh seorang warga Indonesia bernama Ghozali yang memperjualbelikan gambar dirinya menjadi NFT di media Opensea dan meraup keuntungan yang tak terduga yakni sekitar lebih dari Rp. 14 miliar. Hal ini menyebabkan masyarakat awam lainnya ingin mendapatkan keuntungan serupa dengan mulai memperjualbelikan gambar di NFT. Bukti lain adanya eksistensi NFT yang meningkat adalah dengan adanya pameran Art Pop Up bersama Sewon NFT Club dan Galeri R.J. Katamsi dari Institut Seni Indonesia yang mengusung tema unik yaitu NFT dan melibatkan 236 kreator bertema NFT. Namun, adanya peningkatan eksistensi NFT di Indonesia tidak diiringi dengan perkembangan hukum yang sepadan, sehingga mulai timbul beberapa problematika tentang komersialisasi NFT. 

Mengidentifikasi dari salah satu satu contoh kasus mengenai komersialisasi NFT yaitu seniman kripto dengan nama Twisted Vacancy yang mengaku mendapatkan inspirasi elemen atas karya NFTnya dari internet. Elemen tersebut dikumpulkan ke draf tim kerjanya yang nantinya dapat dipergunakan oleh dirinya serta anggota timnya yang lain. Namun, setelah ditelaah lebih dalam, diketahui bahwa Twisted Vacancy mengambil elemen milik warga Indonesia Bernama Kendra Ahimsa yang beredar dari internet dan kemudian memakai elemen tersebut dan memodifikasinya dengan desain baru. Dengan desain yang berasal dari elemen Kendra Ahimsa, Twisted Vacancy berhasil menjual karya NFTnya dengan harga yang luar biasa. 

Pada kasus Kendra Ahimsa dan Twisted Vacancy ini, dapat dilihat bahwa NFT berpotensi menimbulkan kejahatan cyberspace berupa pelanggaran hak cipta. Problematika ini memerlukan aturan hukum khusus yang mengatur NFT sebagai salah satu aspek kehidupan dalam peningkatan ekonomi masyarakat. Berkaca dari kasus tersebut, UU ITE dan UU Hak Cipta dirasa belum cukup mampu untuk mengatur secara khusus mengenai permasalahan-permasalahan NFT pada ruang lingkup seni, sehingga hal ini dapat disebut sebagai kekosongan hukum. Dampak dari kosongnya hukum tersebut yaitu adanya ketidakpastian hukum dan juga regulasi di masyarakat serta berpotensi menimbulkan problematika baru dalam dunia NFT.  

Saat ini hak dari pembuat karya secara umum telah dilindungi oleh UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Indonesia belum menciptakan regulasi khusus yang mengatur NFT karena problematika komersialisasi NFT ini masih belum menjadi hal yang mendesak untuk segera diatasi dengan aturan hukum. Namun, pergerakan cepat dalam menangani problematika ini sangat dibutuhkan. Melihat adanya potensi timbul kejahatan cyberspace di dunia NFT dan belum ada payung hukum untuk mengatasi hal ini akan merugikan pengguna NFT Indonesia karena negaranya belum menerbitkan aturan hukum untuk melindungi hak ciptanya. Namun, terlepas dari kenyataan bahwa tidak ada undang-undang khusus di Indonesia yang secara khusus mengatur Non-Fungible Token (NFT), hak pencipta suatu karya biasanya dijamin dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 

Pada sisi pengembangan kekayaan intelektual, NFT menawarkan peluang penciptaan dan penjualan karya melalui media digital yang memiliki jangkauan luas dan menawarkan prospek monetisasi yang lebih efektif. Terdapat berbagai masalah, antara lain sebagai perlindungan hukum, pencurian digital, dan konversi/pencetakan karya tanpa izin pencipta/pemegang hak cipta asli. Dalam mengembangkan solusi atas permasalahan tersebut, sangat penting untuk mempertimbangkan aspek hukum dan teknologi sebagai model untuk melindungi kekayaan intelektual dari ancaman pelanggaran yang disebabkan oleh teknologi, karena peraturan perlindungan hak cipta tidak dapat melindungi hak cipta di media digital tanpa dukungan infrastruktur teknologi. 

 

Terkait pendekatan teknologi sangat diperlukan adanya prosedur teknologi yang dapat mengakomodir upaya preventif maupun represif terkait perlindungan hak cipta misalnya melalui Technologies Protection Measures (TPM), Anti Copy Devices, Access Controlling Devices / Digital Envelope, Proprietary Viewer, Watermarking / Fingerprinting, Metering Systems maupun Electronic Copyright Management System (ECMS), sedangkan dari aspek legal dapat dilakukan formulasi regulasi perlindungan Hak Cipta dengan pendekatan teknologi contohnya pendekatan Digital Millennium Copyright Act 1998 (DMCA) yang diterapkan di Amerika Serikat yang mengkombinasikan perlindungan hukum dan perlindungan teknologi untuk karya cipta digital. Pendekatan kontraktual juga dapat diambil dengan dukungan penggunaan teknologi smart contract yang diformulasikan dan dikembangkan agar dapat lebih mengakomodir perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi para pihak.