JUDICIAL REVIEW SATU ATAP DI MK, PERLUKAH?

Dilihat dari segi praktis efisien dan efektivitas juga dapat dikatakan pengujian Peraturan Perundang-undangan di MA berjalan sangat tidak efektif, karena rata-rata perkara yang diselesaikan per-tahun antara 1-2 gugatan dan 3 perkara permohonan. Sebaliknya MK justru lebih produktif, karena hanya dalam waktu kurang lebih 1 tahun dapat menyelesaikan 22 perkara, serta hukum acara pengujian Peraturan Perudang-undangan di MK lebih terbuka dibanding dengan hukum acara pengujian Peraturan Perundang-undangan di MA.

Persidangan di MK pun telah menerapkan prinsip audi et alteram partem yaitu keterangan di dengarkan oleh para pihak di dalam persidangan, sedangkan proses persidangan dalam MA tidak menganut prinsip tersebut, dalam pengujiannya pun bersifat tertutup sehingga hanya dilakukan terhadap berkas pemohon dan berkas jawaban dari pihak termohon.

Pada praktik pelaksanaanya, secara hipotesis dapat timbul pertentangan subtantif antara MA dan MK. Dari awal pun alasan dari dibentuknya MK adalah karena kurang efektifnya MA menangani judicial review. Permasalahan yang demikian tentu dapat dihindarkan apabila Judicial rewiew itu dilaksanakan satu atap di MK. Sebab Judicial review merupakan sebuah cara untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah atas berbagai produk hukum yang diciptakannya. Selain itu, judicial review merupakan sebuah praktik guarantee of constitution terhadap seluruh produk hukum. Oleh karena itu ada baiknya sistem pengujian Peraturan Perundang-undangan dibawah konstitusi diintegrasikan dibawah MK, dengan demikian masing masing Mahkamah dapat memfokuskan perhatian pada masalah yang berbeda, yaitu MA menangani persoalan keadilan dan ketidakadilan bagi warga negara,sedangkan MK menjamin konstitusionalitas keseluruhan Peraturan Perundang-undangan. Karena seperti yang kita ketahui pada dasarnya MK adalah the guardian of constitution.