Menyoal Pasal Penghinaan Presiden Dalam RUU KUHP

Selanjutnya, alasan liberal. Sepertinya Pemerintah dan DPR menganggap kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah bentuk sebuah paham nilai-nilai liberal, padahal kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah bentuk hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi oleh hukum. Dasar hukumnya, jelas termuat dalam Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

MK sendiri kala itu juga dalam putusannya berpendapat bahwa Pasal penghinaan terhadap Presiden berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi. Artinya, MK selaku lembaga penafsir akhir UUD NRI Tahun 1945 juga telah menjamin setiap orang bebas untuk berekspresi dan berpendapat selama tidak melanggar kewajiban untuk menghargai kehormatan dan harkat dan martabat manusia.

Alasan Pemerintah dan DPR telah terbantahkan, artinya Pemerintah dan DPR tidak memiliki alasan kuat untuk memuat kembali Pasal penghinaan terhadap Presiden ke RUU KUHP. Selain itu, dalam perspektif hukum pada Pasal 10 Ayat (1) huruf d UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa salah satu materi muatan Undang-Undang adalah tindak lanjut dari putusan MK. Implikasi dari putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dengan konsekuensi hukumnya adalah Pemerintah dan DPR harus menindaklanjuti putusan tersebut dengan tidak memuat kembali Pasal penghinaan Presiden ke dalam RUU KUHP.