Menurut Fathan Mubiina dalam tulisannya yang berjudul “Kedudukan Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasca Reformasi”, keberadaan fraksi dinilai menjadi masalah karena terlalu mengintervensi kedaulatan dan independensi anggota dewan di DPR RI. Secara realitas, mungkin kita masih bisa mengingat kejadian Lily Wahid yang menerima “sanksi” pergantian antar waktu karena tidak sejalan keputusan fraksi mengenai hak angket mafia pajak. Inilah yang membuat mayoritas anggota DPR hanya mengikuti instruksi fraksi yang sebenarnya hanya instruksi dari yang empunya kuasa.

Walaupun memang secara teoritis dan yuridis kita tidak dapat mengesampingkan peran anggota DPR sebagai party representation seperti sebagaimana yang telah disinggung oleh Anthony Birch, namun tentunya harus ada kesadaran bagi setiap anggota DPR yang telah dipilih oleh konstituen untuk memisahkan kapan dirinya bertindak sebagai wakil partai dan kapan dirinya bertindak sebagai wakil rakyat. Jangan sampai menurunkan derajat dirinya hanya menjadi beo para “pimpinannya”.

Selain kesadaran anggota, Partai Politik sendiri harus bertanggung jawab pada pemilihnya, atau lebih tepatnya kepada konstituen yang telah memilih calon-calon yang diusungnya. Dalam konteks ini, partai politik harus benar-benar merepresentasikan citranya sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Tentunya dengan memanfaatkan anggota-anggota mereka di Senayan.