Fenomena Hakim Tunggal: Rumusan yang Bingung

Namun, solusi yang dinilai solutif tersebut, tidak terlepas dari rantai permasalahan. Misalnya, independensi dan objektivitas hakim cenderung dipertanyakan. Selain itu mengenai tidak adanya standar operasional prosedur khususnya mengenai situasi tertentu yang dapat diterapkan hakim tunggal. Hal ini diperparah ketika dalam sebuah perkara, hanya ada seorang hakim, dan perkara yang ditanganinya merupakan perkara yang berkaitan dengan pribadi seorang hakim. Dalam keadaan tersebut terjadilah perbenturan asas antara ius curia novit dengan nemo judex idoneus in propria causa. 

Secara konstitusional, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Hal ini dijelaskan secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 24 ayat (1) “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Menurut Feri Amsari, ada tiga syarat kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu pertama merdeka dari kepentingan cabang kekuasaan lain baik di pemerintah ataupun para politisi, merdeka dari ideologi politik apapun dan tekanan publik, dan merdeka dari kekuasaan lembaga kehakiman yang lebih tinggi. Dari pandangan tersebut, tidak disinggung sama sekali mengenai kemerdekaan hakim atas pengaruh hubungan kekerabatan ataupun kekeluargaan. Padahal, itu merupakan perwujudan asas nemo judex idoneus in propria causa dalam hukum acara. Sehingga menurut penulis, harusnya hal tersebut juga menjadi syarat bagi kekuasaan kehakiman yang merdeka. Rumusan hakim tunggal dapat saja dengan mudah mencederai asas tersebut. Apalagi pada putusan Mahkamah Konstitusi, asas ini pernah dikesampingkan ketika berbenturan dengan asas ius curia novit. Meskipun kedudukan MK tidak dapat dinegasikan dalam mewujudkan negara demokrasi konstitusional, namun membenturkan asas bukanlah praktik yang harus dibiasakan.