Dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 14 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 dinyatakan bahwa pihak terkait yang berkepentingan tidak langsung yakni “Pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya” dan “pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud”. Dengan demikian, konsep Amicus Curiae juga digunakan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. Bahkan, bukanlah hal asing untuk menerapkan konsep common law ke dalam sistem hukum Indonesia. Contoh seperti asas praduga tak bersalah dan Omnibus Law telah menjadi segelintir bukti penerapan modifikasi sistem hukum Indonesia.

Kembali lagi, konsep Amicus Curiae hanya disampaikan oleh orang yang tertarik dalam mempengaruhi hasil dari aksinya. Meskipun bukan berasal dari pihak yang terlibat, selama ia memiliki kapasitas yang mumpuni sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan maka orang tersebut tergolong sah selaku Amicus Curiae. Negara-negara maupun pengadilan internasional umumnya mengakomodir konsep ini untuk kasus-kasus berkaitan dengan pelanggaran HAM. Konsep ini juga diperlukan untuk kasus proses banding, isu-isu kepentingan sosial serta kebebasan sipil yang sedang diperdebatkan sehingga menimbulkan preseden tersendiri bagi hak masyarakat luas. Sementara untuk Indonesia, Amicus Curiae belum banyak dikenal dan digunakan, baik oleh akademisi maupun praktisi. Baru tercatat beberapa proses peradilan yang sudah menerapkan konsep Amicus Curiae seperti Kasus Putri Prita Mulyasari akan insiden Pencemaran Nama Baik UU ITE, Pengujian UU Perkawinan terhadap UUD 1945 oleh Muktino, Eks-Gubernur Basuki. T. Purnama dengan tuduhan Penodaan Agama, dan sebagainya.