Mengenang Kembali Putusan MK yang Retroaktif

Putusan yang bersifat retroaktif ini jumlahnya sangat sedikit karena untuk menghasilkan Putusan ini, hakim konstitusi harus bermunajat dan mempertimbangkan-nya dengan sangat cermat dan penuh kehati-hatian. Sebab, akibat hukum putusannya tidak hanya mengikat Pemohon dan addressat putusan saja, melainkan juga mengikat seluruh warga negara. Ditambah lagi, putusan retroaktif ini secara teoritis berpotensi menciptakan disharmonisasi terhadap peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dikarenakan putusan judicial review MK yang berlaku surut berakibat pada batalnya semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlandaskan pada ketentuan yang dibatalkan tersebut.

Menariknya, MK Indonesia bukanlah satu-satunya yang pernah mengeluarkan putusan pengujian undang-undang yang bersifat retroaktif. MK Federal Jerman dan MA Amerika Serikat sebagai salah satu ‘sesepuhnya’ MK dunia karena kerap menjadi rujukan, pernah juga mengeluarkan putusan yang bersifat retroaktif. Demikian juga dengan MK Portugal, MK Spanyol, MK Italia, MA Federal Brazil, hingga MK Afrika Selatan meskipun diberlakukan untuk kasus yang sangat terbatas.

Pada akhirnya, meskipun secara teoritis dan yuridis putusan retroaktif sebenarnya dilarang, namun bukan berarti MK tidak mempraktekkannya. Ada pengecualian-pengecualian terhadap larangan retroaktif ini yakni karena alasan perlindungan HAM, alasan keadilan substantif, dan alasan diskresi dari hakim. Selain itu, Hakim juga harus memperhitungkan dan menggali pertanyaan pada hati nuraninya apakah dengan penerapan secara kaku larangan retroaktif justru akan menimbulkan ketidakadilan, merongrong nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.