BANK TANAH DALAM KONSTRUKSI HUKUM DI INDONESIA

Adanya konsep Bank Tanah dalam sistem pertanahan di Indonesia memiliki maksud dan tujuannya yang baik, juga ada beberapa hal yang dinilai bertentangan dengan sistem pertanahan di Indonesia. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Selanjutnya dalam UUPA pasal 2 menyebutkan bahwa “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Selanjutnya dijelaskan pada ayat (2) bahwa:

  1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
  2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan  bumi, air dan ruang angkasa;
  3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan- perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Keberadaan Bank Tanah sebagaimana yang telah diatur dalam UU Cipta Kerja tentu membawa konsekuensi terhadap hukum pertanahan nasional. Dalam ketentuan pasal 129 UU Cipta Kerja memberikan kewenangan kepada Badan Bank Tanah untuk mendukung investasi, berwenang melakukan pengadaan tanah dan Bank Tanah memiliki atau memperoleh hak pengelolaan sebagaimana diatur dalam Pasal 137 UU Cipta Kerja. Ketentuan ini berpotensi memberikan kewenangan untuk mengambil tanah-tanah sepanjang digunakan untuk kegiatan investasi tanpa memerhatikan pihak yang dirugikan, salah satunya masyarakat. Hal ini bisa saja terjadi dengan dalih pembangunan nasional, tetapi meniadakan hak masyarakat sekitar atau yang terdampak lainnya.