Di Bawah Bayang-Bayang Ekosida

Kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia sangat erat kaitannya dengan diberikannya karpet merah kepada para investor. Acap kali pertumbuhan ekonomi menjadi dalih untuk memberikan kemudahan berinvestasi. Secara konsep kejahatan ekonomi di era globalisasi merupakan dampak dari imperialisme dan kapitalisme (Satria, 2021:16). Maka tidak heran jika penanganan terhadap kerusakan lingkungan bersifat politis karena adanya conflict of interest antara pemerintah dengan pemodal yang dapat memengaruhi kebijakan publik. Realita tersebut dapat dilihat dari berbagai korporasi yang memiliki area lahan terbakar terbesar pada kebakaran hutan dan lahan di tahun 2015 hingga 2018 tidak mendapatkan sanksi yang serius (BBC.com, 2019).

Padahal, idealnya negara memberikan perlindungan terhadap keberlangsungan hidup masyarakatnya dengan tetap menjaga pengelolaan kelestarian lingkungan hidup melalui instrumen perizinan sehingga tercapainya pembangunan berkelanjutan. Maka dari itu filosofis mengategorikan kerusakan lingkungan sebagai kejahatan luar biasa agar korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban atas lingkungan yang telah rusak secara massif, dan tak terpulihkan, serta bersifat lintas generasi.

Meskipun Indonesia telah memiliki berbagai peraturan perundang- undangan yang menjamin setiap orang berhak untuk hidup, berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana yang diatur di Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup namun pada tataran implementasinya masih lemah. Di sisi lain, Indonesia pun belum mengenal kerusakan lingkungan sebagai suatu kejahatan luar biasa yang dapat berujung pada terjadinya pelanggaran HAM berat.