Jalan Panjang Presidensialisme Multipartai di Indonesia 

Hal ini ditandai dengan bergabungnya beberapa parpol dari KMP kepada KIH seperti PPP pada Oktober 2014, kemudian PAN, hingga Golkar di bulan Januari 2016. Perkembangan selanjutnya pasca pemilu 2019 memunculkan hal menarik baru dimana hampir seluruh Parpol bergabung dengan pemerintahan Koalisi pendukung Jokowi. Hal ini dapat dilihat dari hasil pemilu legislatif 2019 dimana koalisi partai politik pendukung pemerintah terdiri dari PDIP, Golkar, NasDem, PKB, PPP, Gerindra, dan Demokrat dengan jumlah kursi pro-Jokowi akan menjadi 481 kursi atau 84 persen kursi DPR. Sementara jumlah kursi tersisa yang dimiliki PKS dan PAN hanya 94 kursi atau 16 persen kursi DPR (detikNews, 2019), banyak pihak menyebut koalisi ini sebagai koalisi gemuk. 

Sekalipun terdapat dinamika tarik ulur antara Presiden partai Politik di DPR dan dalam banyak kejadian juga dengan partai dalam barisan koalisi, persoalan presiden dengan dukungan minoritas di lembaga legislatif tidak membuat dampak terhadap sistem politik di Indonesia. Presidensialisme multipartai di Indonesia tidak pernah terperosok pada kebuntuan atau kemandegan (deadlock) relasi legislatif-eksekutif. Pengalaman Indonesia dalam presidensialisme multipartai menemukan “jalan sendiri” untuk mengatasi keadaan tidak seperti kebanyakan sistem presidensialisme multipartai seperti di Amerika Latin dalam dua dekade terakhir. Bahkan, Indonesia tidak pernah mengalami kejadian penyelenggaraan pemerintahan berhenti mendadak (Hanan, 2014:367-368).