RESTRUKTURISASI SISTEM PENEGAKAN HAM SEBAGAI UPAYA MENGEMBALIKAN MARWAH NEGARA HUKUM PANCASILA

Adapun rekonstruksi yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam rangka penguatan eksistensi Pengadilan HAM adalah dengan mengabsorbsi atau meratifikasi Statuta Roma sebagai sumber rujukan penyempurnaan UU 26/2000. Pada konteks ini diperlukan perbaikan substansi hukum yang meliputi perluasan yurisdiksi pengadilan HAM dengan memasukkan kejahatan perang dan agresi, menerjemahkan secara komprehensif Statuta Roma 1988 tentang Pengadilan Pidana Internasional (PPI), mengharmonisasi Statuta Roma 1998 dengan menghadirkan regulasi khusus tentang hukum acara pengadilan HAM, memperkuat kewenangan Komnas HAM sebagai leading sector dalam mengungkap kasus pelanggaran HAM, serta mengupayakan kehadiran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Secara struktural, hadirnya Undang-Undang Pengadilan HAM sebagai lex specialis akan berstatus primary mechanism, sedangkan Undang-Undang tentang Ratifikasi Statuta Roma akan berperan sebagai mekanisme pelengkap.

Kelembagaan politik HAM juga menjadi tumpuan asa pengungkapan kebenaran dan pemulihan hak-hak korban dalam berbagai kasus pelanggaran HAM. Keberadaan Komnas HAM sebagai institusi nasional yang khusus menangani perkara HAM harus diperkuat melalui serangkaian kebijakan strategis antara lain yaitu: pertama, perluasan kewenangan Komnas HAM dengan menambahkan kewenangan penyidikan dan penuntutan. Kedua, restrukturisasi keanggotaan Komnas HAM dengan mewajibkan hadirnya perwakilan masyarakat yang seringkali bersinggungan dengan kasus pelanggaran HAM.