Menggagas Perubahan UU Tindak Pidana Perdagangan Manusia

Tindak pidana perdagangan manusia diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO). Pasal 2 ayat (1) UU tersebut menjelaskan bahwa cakupan tindak pidana perdagangan manusia terdiri dari perekrutan, penampungan, memindahkan, mengirim, ataupun menerima seseorang dengan melakukan ancaman kekerasan bahkan melakukan penyekapan, menculik, menipu, memalsukan, menyalahgunakan posisi kekuasaan, menjerat seseorang dengan utang lalu memanfaatkannya dengan bertujuan untuk mengeksploitasinya. Pasal yang sama juga menerangkan bahwa ancaman hukuman terkait berupa pidana penjara antara tiga hingga 15 tahun penjara, sedangkan dendanya maksimal Rp. 600.000.000,00. Tindak pidana tersebut juga harus disertai berbagai unsur untuk dipenuhi, yaitu pelaku, tindakan, modus, dan tujuan. 

Umumnya kejahatan ini didukung oleh faktor kesemrawutan ekonomi, konflik pribadi, bahkan bencana alam sehingga memaksa warga untuk melakukan pekerjaan imigrasi guna bertahan hidup. Tidak heran jika klasifikasi korban yang terimbas umumnya berupa imigran yang diangkut, penculikan oleh mucikari, perekrutan gelap, bahkan pembelian paksa oleh para pelaku yang cukup menggambarkan faktor-faktor tersebut. Sayangnya, masyarakat maupun penegak hukum memandang kejahatan ini terfokus kepada wanita sebagai budak seksual, padahal anak-anak dan laki-laki juga kerap dikorbankan.